Penulis : Irma Devinta
Penyunting : Agus Hadiyono
Penyunting : Agus Hadiyono
Penerbit : Inti Dinamika Publishers
Tahun terbit : 2013
Halaman : 252 halaman.
ISBN : 978-602-14969-0-9
Blurb (Sinopsis Buku) :
Sesosok jasad terbujur kaku di meja yang sengaja diletakkan di pelataran mushalla. Terbaring dalam hening. Tampak agung walau tersungkur bergenang darah mengering dari luka menganga di wajah yang bola matanya raib tercabut dari tempatnya.... Tubuh berperawakan sedang namun berisi itu menjadi saksi bisu kekejaman tangan - tangan yang pernah mendera, penuh lubang peluru dan cabikan bayonet. Tulang kepala berambut ikalnya retak, terdera popor senapan. Satu... dua... tiga... jari - jari tangan sang jasad tak lagi lengkap, hilang sebagian. Jari - jari itu biasanya lincah memetik ukulele melantunkan nada merdu.
Sang Patriot, selarik kisah tentang cinta kasih sejati, persahabatan, pengkhianatan, dan pengorbanan. Kisah tentang seorang Patriot yang rela mengorbankan segalanya, harta, jiwa raga dan cintanya demi mempertahankan kemerdekaan bangsa
Sang Patriot, selarik kisah tentang cinta kasih sejati, persahabatan, pengkhianatan, dan pengorbanan. Kisah tentang seorang Patriot yang rela mengorbankan segalanya, harta, jiwa raga dan cintanya demi mempertahankan kemerdekaan bangsa
Resensi
Sebelum baca resensi yang aku buat, boleh juga dengerin instrumen Gugur Bunga, monggooo..
Sebelum baca resensi yang aku buat, boleh juga dengerin instrumen Gugur Bunga, monggooo..
Betapa hatiku tak kan rindu
telah gugur pahlawanku.
Betapa hatiku tak kan sedih
hamba ditinggal sendiri.
Siapakah kini pelipur lara
nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
pembela bangsa sejati.
***
Saat menerima novel Sang Patriot, enggak langsung membaca novel itu, malah masih bolak-balik novel epos ini. Banyak tanda tanya di kepala, Siapa Irma Devita? Mengapa harus novel epos? Mengapa harus Mochammad Sroedji? Mungkin karena aku kurang gaul / kurang pergaulan / kurang bergaul, maka dari itu aku mulai membaca dari halaman pertama. Tapi, malah bingung lagi karena ada sebuah tulisan "Teruntuk : Rukmini, wanita mulia berhati sekeras baja." Nah, siapa lagi itu Rukmini? Oke! Aku kurang gaul ternyata. Merasa seperti orang awam, aku langsung kirim pesan ke salah satu Blogger senior yang selalu dapat salam hangat dari KUA, "Mbak Irma Devita, itu siapa? Kenapa nulis novel epos Mochammad Sroedji?" dan Blogger senior yang selalu dirindukan oleh KUA dan mentari menjawab,"Itu kakeknya, Pahlawan dari Jember." Dan aku hanya membalas dengan satu kalimat, "WOW".
Novel dibuka dengan cerita kehidupan Sroedji kecil, padahal aku sudah siap - siap jika halaman awal sebuah novel epos pasti langsung menuju ke dalam situasi perang dengan segala tak - tik yang akan diterapkan. Bukan, bukan seperti itu. Penulis akan membawa kita lebih dalam mengenal siapa itu Mochammad Sroedji, lebih ke pengenalan silsilah keluarga, siapa orangtua Beliau, asal - usul Beliau. Tak lupa, menceritakan demografi suatu wilayah, yaitu tanah Madura, merupakan tempat orangtua Mochammad Sroedji dilahirkan. Cerita tentang orangtua Mochammad Sroedji pun sudah menimbulkan konflik di awal cerita, Jangan pernah untuk skip (melewatkan) bab pertama, meskipun masih belum menceritakan Mochammad Sroedji, karena kita akan menemukan istilah - istilah yang menurutku unik dan terasa seting jaman dahulu, seperti "Calon Arang" , "Ongko loro" dan lain sebagainya.
Mochammad Sroedji hidup di mana harga dari pendidikan seperti barang mewah, yang tak semua rakyat dapat mengecap pendidikan. Apalagi pendidikan untuk kalangan perempuan, mengecap pendidikan lebih tinggi merupakan impian yang tak pernah dapat diraih bahkan termasuk momok yang menakutkan, karena perempuan cerdas akan sulit dapat jodoh.
Jodoh tak akan kemana, perkenalan yang "tidak disengaja" antara Mochammad Sroedji dengan Rukmini membawa mereka pada takdirnya. Entah kenapa, Pasar yang merupakan tempat pertemuan " tidak disengaja" tampak begitu romantis.
Entah kenapa saat membaca pertemuan "tak disengaja" antara Sroedji dan Rukmini, lokasi Pasar menjadi tempat romantis untuk bertemu jodoh. Andaikan pasar yang ada di dekat rumahku, merupakan tempat bertemu aku dan kamu, kemudian aku akan berkata,"Tabrak aku Maaaas...".
Meskipun dibalut dengan cerita romansa, tetapi novel epos tetaplah novel epos yang dengan garang menuliskan tentang kepahlawanan. Tekad Sroedji yang semakin bulat untuk membebaskan negaranya dari penjajah dibuktikan dengan datangnya Sroedji ke lokasi perekrutan PETA untuk bekal menjadi tentara kuat saat membela tanah air.
Meskipun secara garis besar menceritakan sosok Sroedji, tetapi banyak sekali sosok Pahlawan yang dihadirkan di novel Sang Patriot ini. Pada pertempuran Surabaya, aku begitu familiar dengan beberapa tokoh seperti Gubernur Suryo dan Kolonel Sungkono. Ternyata, Sroedji (saat itu berpangkat Mayor) dan pasukannya (Batalion Alap - alap) berada di garis depan untuk bertempur dengan pasukan Inggris di Bagian Selatan Surabaya, yaitu Sidoarjo.
Jadi, seorang pahlawan itu tidak berjuang sendiri, tidak menonjolkan dari mana dia berasal, semua untuk kesatuan NKRI, berperang di daerah manapun harus siap sedia! Pikiranku langsung menuju ke Suporter sepakbola yang notabene memiliki sebuah "tradisi" yang aneh, jika Bonek memiliki "musuh bebuyutan" The Jack Mania, sedangkan Arema memiliki "musuh bebuyutan" Viking. Mengapa bisa begitu? Padahal para Pahlawan selalu siap sedia ketika diberi tugas untuk mempertahankan daerah selain tempat tinggalnya, tidak pernah membedakan setiap daerah karena itu semua demi kesatuan NKRI, Entahlah, tanya kenapa...
Pahlawan gugur layaknya bunga yang selalu mengharumkan Ibu Pertiwi. Ya, inilah bagian tersulit ketika menulis sebuah review dari novel epos Sang Patriot, menulis jika Sroedji telah menuju ke pusara, meninggal di tanah kelahirannya, Jember dan akhirnya menjadi syuhada. Gema takbir selalu mengiringi kepergian Sroedji. Jasadnya memang telah tiada, tetapi kematian Sroedji membuat semangat rakyat Jember bertekad untuk meneruskan cita - cita luhur Komandan Sroedji.
Si Penulis, yaitu Mbak Irma Devita sebelum menulis novel Sang Patriot, telah terlebih dahulu menulis buku non-fiksi dalam bidang hukum, dan dengan terbitnya novel epos Sang Patriot ini, jadi semakin menambah deret panjang prestasi si Penulis dalam bidang kepenulisan. Aku yakin, perpindahan dari menulis non-fiksi ke fiksi sangatlah tidak mudah, apalagi merupakan novel epos yang tidak boleh mengubah sejarah sedikitpun, tetapi mampu memberikan bumbu romansa antara Sroedji dan Rukmini seperti percintaan yang membuat lumer di hati. Selain adanya romansa, ada juga konflik yang bagiku adegan yang membuat merinding dan seram, bagaimana aku bisa tidur kalau tiba - tiba membaca peristiwa di mana seorang rakyat kesakitan karena matanya dicongkel oleh Belanda. Glek! Jangan pernah membaca pada saat malam hari dan sendirian, karena tiba - tiba akan membaca di mana peristiwa pembunuhan seorang lurah yang digorok oleh tentara Jepang dan kemudian diseret - seret. Meskipun peristiwa itu benar adanya atau malah kenyataan lebih kejam dari pada novel epos ini, tetapi berhasil membuat susah tidur karena peristiwa pembunuhan diceritakan secara gamblang.
Lalu, mengapa aku memberi judul review ini , Sang Patriot : Kembali Ke Masa Depan. Tentu saja ada alasannya, ketika Kita merayakan hari Kemerdekaan Republik Indonesia, masih saja orang - orang berkata jika kita belum merdeka karena banyaknya koruptor, sistem pendidikan yang selalu pro kontra dan menyengsarakan anak didik. Tapi, coba kita kembali ke masa lalu, apa mungkin kita bisa melakukan seperti yang dilakukan para pahlawan? Apakah aku sebagai perempuan, mampu dengan ikhlas merelakan suami untuk berperang, mampukah aku bertahan dengan kebiadaban tentara Jepang, mampukah aku secara sadar melihat suami dibunuh oleh tentara Belanda di depan mata kepala sendiri? Jawabannya tentu saja tidak.
Jadi, kita ini sudah merdeka! Kembali untuk mengenang jasa pahlawan dan membawa semangat para pahlawan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Andaikata novel epos Sang Patriot difilmkan, mohon dengan sangat, pilih ya aktor Iko Uwais atau Lukman Sardi sebagai pemeran Sroedji. Rukmini lebih baik diperankan oleh Wulan Guritno, kayaknya Wulan Guritno menampilkan sosok wanita cerdas, mandiri dan pintar Bahasa Belanda, seperti Rukmini. Lah, kenapa tiba - tiba aku seperti casting pemeran. Merdeka!!!
Sedikit saran untuk si Penulis, Mbak Irma Devita, mungkin bisa mempublikasikan novel eposnya ke dalam Goodreads, karena goodreads merupakan tempatnya pecinta buku, jadi bisa sekalian untuk mempromosikan novel epos Sang Patriot, juga bisa untuk feedback (umpan balik) dari pembaca.
Sedikit oleh - oleh yang tidak sengaja ke Museum Brawijaya Malang, sepertinya ada yang nyambung sama novelnya :))
Novel dibuka dengan cerita kehidupan Sroedji kecil, padahal aku sudah siap - siap jika halaman awal sebuah novel epos pasti langsung menuju ke dalam situasi perang dengan segala tak - tik yang akan diterapkan. Bukan, bukan seperti itu. Penulis akan membawa kita lebih dalam mengenal siapa itu Mochammad Sroedji, lebih ke pengenalan silsilah keluarga, siapa orangtua Beliau, asal - usul Beliau. Tak lupa, menceritakan demografi suatu wilayah, yaitu tanah Madura, merupakan tempat orangtua Mochammad Sroedji dilahirkan. Cerita tentang orangtua Mochammad Sroedji pun sudah menimbulkan konflik di awal cerita, Jangan pernah untuk skip (melewatkan) bab pertama, meskipun masih belum menceritakan Mochammad Sroedji, karena kita akan menemukan istilah - istilah yang menurutku unik dan terasa seting jaman dahulu, seperti "Calon Arang" , "Ongko loro" dan lain sebagainya.
Mochammad Sroedji hidup di mana harga dari pendidikan seperti barang mewah, yang tak semua rakyat dapat mengecap pendidikan. Apalagi pendidikan untuk kalangan perempuan, mengecap pendidikan lebih tinggi merupakan impian yang tak pernah dapat diraih bahkan termasuk momok yang menakutkan, karena perempuan cerdas akan sulit dapat jodoh.
"Laki - laki takut menghadapi perempuan yang terlalu pintar. Perempuan seperti itu biasanya sulit diatur dan mendengarkan kata - kata suami." - Halaman 27.Rukmini, perempuan yang ingin seperti idolanya, Mr. Maria Ulfa Subadio merupakan seorang Meester in de Rechten (Sarjana hukum). Harus memupuskan impiannya karena harus menikah dari hasil perjodohan.
Jodoh tak akan kemana, perkenalan yang "tidak disengaja" antara Mochammad Sroedji dengan Rukmini membawa mereka pada takdirnya. Entah kenapa, Pasar yang merupakan tempat pertemuan " tidak disengaja" tampak begitu romantis.
"Rukmini terjingkat oleh degupan lembut saat matanya kembali beradu pandang dengan si lelaki. Tertangkap oleh Rukmini lelaki muda itu mengedipkan sebelah matanya. Serentak merah padam wajah Rukmini dibuatnya." - Halaman 25.
Entah kenapa saat membaca pertemuan "tak disengaja" antara Sroedji dan Rukmini, lokasi Pasar menjadi tempat romantis untuk bertemu jodoh. Andaikan pasar yang ada di dekat rumahku, merupakan tempat bertemu aku dan kamu, kemudian aku akan berkata,"Tabrak aku Maaaas...".
Meskipun dibalut dengan cerita romansa, tetapi novel epos tetaplah novel epos yang dengan garang menuliskan tentang kepahlawanan. Tekad Sroedji yang semakin bulat untuk membebaskan negaranya dari penjajah dibuktikan dengan datangnya Sroedji ke lokasi perekrutan PETA untuk bekal menjadi tentara kuat saat membela tanah air.
Meskipun secara garis besar menceritakan sosok Sroedji, tetapi banyak sekali sosok Pahlawan yang dihadirkan di novel Sang Patriot ini. Pada pertempuran Surabaya, aku begitu familiar dengan beberapa tokoh seperti Gubernur Suryo dan Kolonel Sungkono. Ternyata, Sroedji (saat itu berpangkat Mayor) dan pasukannya (Batalion Alap - alap) berada di garis depan untuk bertempur dengan pasukan Inggris di Bagian Selatan Surabaya, yaitu Sidoarjo.
Jadi, seorang pahlawan itu tidak berjuang sendiri, tidak menonjolkan dari mana dia berasal, semua untuk kesatuan NKRI, berperang di daerah manapun harus siap sedia! Pikiranku langsung menuju ke Suporter sepakbola yang notabene memiliki sebuah "tradisi" yang aneh, jika Bonek memiliki "musuh bebuyutan" The Jack Mania, sedangkan Arema memiliki "musuh bebuyutan" Viking. Mengapa bisa begitu? Padahal para Pahlawan selalu siap sedia ketika diberi tugas untuk mempertahankan daerah selain tempat tinggalnya, tidak pernah membedakan setiap daerah karena itu semua demi kesatuan NKRI, Entahlah, tanya kenapa...
Pahlawan gugur layaknya bunga yang selalu mengharumkan Ibu Pertiwi. Ya, inilah bagian tersulit ketika menulis sebuah review dari novel epos Sang Patriot, menulis jika Sroedji telah menuju ke pusara, meninggal di tanah kelahirannya, Jember dan akhirnya menjadi syuhada. Gema takbir selalu mengiringi kepergian Sroedji. Jasadnya memang telah tiada, tetapi kematian Sroedji membuat semangat rakyat Jember bertekad untuk meneruskan cita - cita luhur Komandan Sroedji.
Si Penulis, yaitu Mbak Irma Devita sebelum menulis novel Sang Patriot, telah terlebih dahulu menulis buku non-fiksi dalam bidang hukum, dan dengan terbitnya novel epos Sang Patriot ini, jadi semakin menambah deret panjang prestasi si Penulis dalam bidang kepenulisan. Aku yakin, perpindahan dari menulis non-fiksi ke fiksi sangatlah tidak mudah, apalagi merupakan novel epos yang tidak boleh mengubah sejarah sedikitpun, tetapi mampu memberikan bumbu romansa antara Sroedji dan Rukmini seperti percintaan yang membuat lumer di hati. Selain adanya romansa, ada juga konflik yang bagiku adegan yang membuat merinding dan seram, bagaimana aku bisa tidur kalau tiba - tiba membaca peristiwa di mana seorang rakyat kesakitan karena matanya dicongkel oleh Belanda. Glek! Jangan pernah membaca pada saat malam hari dan sendirian, karena tiba - tiba akan membaca di mana peristiwa pembunuhan seorang lurah yang digorok oleh tentara Jepang dan kemudian diseret - seret. Meskipun peristiwa itu benar adanya atau malah kenyataan lebih kejam dari pada novel epos ini, tetapi berhasil membuat susah tidur karena peristiwa pembunuhan diceritakan secara gamblang.
Lalu, mengapa aku memberi judul review ini , Sang Patriot : Kembali Ke Masa Depan. Tentu saja ada alasannya, ketika Kita merayakan hari Kemerdekaan Republik Indonesia, masih saja orang - orang berkata jika kita belum merdeka karena banyaknya koruptor, sistem pendidikan yang selalu pro kontra dan menyengsarakan anak didik. Tapi, coba kita kembali ke masa lalu, apa mungkin kita bisa melakukan seperti yang dilakukan para pahlawan? Apakah aku sebagai perempuan, mampu dengan ikhlas merelakan suami untuk berperang, mampukah aku bertahan dengan kebiadaban tentara Jepang, mampukah aku secara sadar melihat suami dibunuh oleh tentara Belanda di depan mata kepala sendiri? Jawabannya tentu saja tidak.
Jadi, kita ini sudah merdeka! Kembali untuk mengenang jasa pahlawan dan membawa semangat para pahlawan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Andaikata novel epos Sang Patriot difilmkan, mohon dengan sangat, pilih ya aktor Iko Uwais atau Lukman Sardi sebagai pemeran Sroedji. Rukmini lebih baik diperankan oleh Wulan Guritno, kayaknya Wulan Guritno menampilkan sosok wanita cerdas, mandiri dan pintar Bahasa Belanda, seperti Rukmini. Lah, kenapa tiba - tiba aku seperti casting pemeran. Merdeka!!!
Sedikit saran untuk si Penulis, Mbak Irma Devita, mungkin bisa mempublikasikan novel eposnya ke dalam Goodreads, karena goodreads merupakan tempatnya pecinta buku, jadi bisa sekalian untuk mempromosikan novel epos Sang Patriot, juga bisa untuk feedback (umpan balik) dari pembaca.
Sedikit oleh - oleh yang tidak sengaja ke Museum Brawijaya Malang, sepertinya ada yang nyambung sama novelnya :))
‘Artikel ini disertakan dalam lomba review novel Sang Patriot‘
aku ngeri yang pas bagian diseret2 itu T.T serius bacanya pas malem2, heuheu. mau dilanjutin kudu nunggu pagi dulu
BalasHapusItu pas cerita si Lurah itu yaaaa... iya ngeri T____T
HapusQiqiqi udah ada rikues untuk pemain filmnya. Dukung! Btw, jadi pengin ikutan lombanya. :D
BalasHapusaq kalo perang2 kadang gak suka gitu ya hihih
BalasHapustp kalo baca buku msh menikmati
Musti berburu novelnya ini
BalasHapuspengen juga berburu novelnya ....sayang nggak bisa kl tempatnya jauh spt aku ini ya mbak?
Hapusonline Mba, atau beli e-booknya (eh ada yg jual e-booknya ga??) Novelnya bagus banget.. :)
Hapusada ebook nya mbak Riski, dan mbak Duniaely...
HapusKalau pakai iPad, iPhone, iPod bisa download via wayang store atau Scoop.
Kalau pakai android bisa download via : google play, Indobooks, Lumos dan QBaca.
bahkan sudah ada juga di Ebookstore nya malaysia di : www.e-sentral.com
Terima kasih reviewnya mbak sari .. saya senyum2 pas bagian "tabrak aku maas..." hahaha!. Sukses ya mbak. :)
Buku ini asyik sekali dan easy reading. :D
BalasHapusmengajarkan nasionalisme juga katanya, ya
BalasHapusEmang serem banget pas cerita tentang kekejaman penjajah itu yaa...
BalasHapusSulit membayangkan ada bangsa yang bisa sekejam itu memperlakukan bangsa lain
Untungnya kini kita sudah merdeka... dan setelah membaca epos kepahlawanan itu kita bisa jadi lebih menghargai para pahlawan dan menghargai kemerdekaan yang mereka perjuangkan buat kita.
Sebenarnya aslinya lebih kejam2 lagi mbak.. cuma sudah "dikurangi" biar nggak terlalu sadis. beberapa kali harus berhenti menulis untuk mengatasi gejolak perasaan saya. Betul mbak.. syukur Alhamdullillah kita sudah merdeka :)
HapusSari, terima kasih ya, sudah turut berpartisipasi :)
BalasHapusSaya sudah membaca buku ini.
BalasHapusSungguh saya mendapatkan banyak sekali inspirasi.